Seputar Pena Inspiratif

6/recent/ticker-posts

Mengenal lebih dekat Prof KH. M. Sjadzli Hasan Seorang Ulama di Banten


Sejarah selalu mencatat bahwasanya Banten adalah wilayah yang selalu dikenal dengan religius dan banyak melahirkan seorang ulama besar yang memiliki peran strategis untuk masyarakat. Ulama Banten tidak hanya tampil dalam mengajarkan dan menyebarkan ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga terlibat aktif dalam berbagai perubahan dinamika sosial dan politik yang terjadi di Banten sejak masa lampau sampai saat ini.

Salah satu ulama yang cukup mahsyur di Banten adalah Prof. KH. M. Sjadzli Hasan, seorang tokoh yang memiliki peranan besar dalam bidang agama, pendidikan, sosial dan politik di Banten dan di Indonesia. Tak heran jika Ia dikenal sebagai ulama, negarawan, pejuang, pemikir dan akademisi. Prof. KH. M. Sjadzli Hasan, atau yang disingkat menjadi MSH lahir di kampung Beji, Bojonegara, Cilegon, pada tanggal 24 Oktober 1914. Ayahnya bernama KH. Hasan dan ibundanya bernama Hj. Zenab.

Untuk memahami benang merah dan hubungan kausalitas dari seluruh perjalanan hidup KH. M. Sjadzli Hasan, kita perlu terlebih dahulu memahami tiga lingkungan kultural yang bisa dikatakan berperan aktif dalam membentik karakter dan jati diri untuk menentukan pilihan-pilihan hidupnya. Pilihan-pilihan ini dapat dimaksudkan seperti misalnya bahwa (1) beliau memilih menjadi aktivis Muhammadiyah, mengajar di Sekolah Tinggi Islam yang dapat kita simpulkan berafiliasi secara geneologis intelektual dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah, (2) memilih politik kooperatif dengan Jepang, (3) aktif dalam revolusi kemerdekaan (1945-1949), (4) terjun di dunia politik, (5) melakukan berbagai pembaharuan keagamaan di Banten. 

Tiga Konteks Kultural : Beji, Al-Khaeriyah (Cilegon), dan Kairo

Memahami tiga konteks kultural historis ini paling tidak dapat membantu kita tidak hanya dapat memahami kiprah M. Sjadzli Hasan sebagai individu akan tetapi dapat memahami fakta tentang bahwa beliau adalah bagian dari mata rantai strategi kebudayaan masyarakat santri Banten dalam mempertahankan jati dirinya dan pendidikan di Banten. 

(1) Beji (1914-1926) 

Kampung Beji dikenal dalam sejarah Banten terutama pada masa kolonial (1808-1942) terutama ada saat peristiwa Geger Cilegon 1888. Kampung ini merupakan tempat kelahiran para tokoh penyebar Islam dan aktivis perjuangan melawan pemerintah kolonial. Kampung Beji juga merupakan tempat tinggal Kiai Soleh, salah satu dari dua orang murid Sunan Ampel, Kiai Idris, yang ditugaskan untuk menyebarluaskan Islam di Banten Utara pada awak abad ke-XV. 

Secara historis Kampung Beji adalah kampung yang pelestarian tradisinya terikat kuat dengan Islam dan sejarah Kesultanan Banten. Selain itu kampung ini dikenal sebagai kampung dengan penyebaran Islam yang cukup pesat. Penyebaran Islam di kampung ini dilakukan di lembaga pendidikan Islam seperti pesantren dan majlis ilmu. Hal lain yang menjadi daya tarik sejarah di Kampung Beji adalah dilestarikannya pencak silat jenis Terumbu sebagai seni bela diri. Tradisi ini diajarkan sejak dini kepada anak-anak dan para pemuda Kampung Beji dengan tujuan untuk mempertahankan diri, menjaga jati diri dan menjaga kehormatan diri. Lahir dan tumbuh di lingkungan masyarakat yang agamis membentuk dirinya menjadi orang yang berwawasan agama yang cukup luas.

Pendidikan dasar Sjadzli Hasan ditempuhnya di Sekolah Rakyat (Vervolgschool) Bojonegara, dan tamat pada tahun 1926. Di masa kecilnya Sjadzli Hasan mendapatkan pendidikan agama dan dasar-dasar keislaman seperti Al-Qur’an, Hadits, Akhlak, dan Nahwu Sorof langsung dari ayahnya KH. Hasan dan kakeknya KH. Adam.

(2) Al-Khaeriyah (1926-1933) 

Lingkungan selanjutnya yang membentuk karakter dan jati diri Sjadzli Hasan adalah Al Khairiyah (1926 – 1933). Setelah menamatkan pendidikannya di Vervolgschool, ia melanjutkan pendidikan di Pesantren/Madrasah Tsanawiyah Al-Khairiyah Citangkil, Cilegon, yang diselesaikannya pada tahun 1932. Di lembaga pendidikan ini ia mendalami pengajaran Islam di bawah bimbingan langsung KH. Syam’un. Di madrasah ini ia mendalami ilmu-ilmu keislaman seperti Nahwu, Shorof, Tafsir, Hadits, Tarikh, Balaghah, dan Kalam. Setalah menyelesaikan pendidikannya di Al-Khairiyah ia diangkat menjadi salah seorang tenaga pengajar di sana.

Ketika Al-Khaeriyah mengembangkan organisasi yang dikenal dengan Jam'iyah Nahdlotusy Syubbanil Muslimin (perkumpulan kebangkitan pemuda Islam/JNSM) pada 21 Juni 1931, sebagai seorang santri yang berpotensi dan memiliki bakat kepemimpinan, beliau dilibatkan dalam struktur kepengurusan (JNSM). Dalam struktur kepengurusan ini beliau ditempatkan sebagai sekretaris II mendampingi Ust. Masriyya yang berperan sebagai sekretaris I, sementara KH. Syam'un berperan sebagai pelindung. 

Nampaknya JNSM merupakan batu loncatan pertama yang membentuk jiwa aktivisme MSH. Di JNSM beliau tidak hanya diberi motivasi menguasai ilmu dan pengajaran Islam setinggi-tingginya, tetapi juga agar ilmu tersebut dapat bermanfaat bagi orang banyak. 

(3) Kairo (1933-1939) 

Memahami satu fase selama kurang lebih enam tahun di Kairo penting karena tidak hanya membantu memahami berbagai alasan mengapa ia bergabung dengan gerakan kaum modernis dan memilih mengajar di Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta dan tinggal beberapa tahun di Yogyakarta.

Ketika masih kuliah di Al Azhar, universitas tertua di dunia Islam itu telah mengalami pembaruan kurikulum dan manajemen pendidikan di dalamnya. Pembaruan ini tidak lepas dari upaya seorang tokoh pembaruan Mesir abad ke-19 yaitu Muhammad Abduh, yang memperjuangkan ide dan gerakan umat Islam agar terlepas dari kolonialisme. Hal ini mempengaruhi pemikiran Sjadzli Hasan mengenai pentingnya sebuah perubahan. Secara bersamaan pada tahun 1930-an di Tanah Air sedang tumbuh subur organisasi-organisasi kepemudaan, kedaearahan, dan kemasyarakatan yang bergerak memperjuangkan kemerdekaan nasional dan melepaskan diri dari ancaman kolonialisme. Organisasi-organisasi tersebut di antaranya adalah Jong Java, Sarekat Islam, Budi Utomo, Perhimpunan Indonesia Raya (Indische Vereeniging), Indische Patij, dan lain sebagainya.

Salah satu organiasi atau perhimpunan yang memberikan pengaruh besar dan mewarnai pergerakan politik dengan semangat nasionalisme terutama kepada para mahasiswa yang berada di perantauan adalah Perhimpunan Indonesia Raya (Indisch Vereeniging, sebuah organisasi yang didirikan oleh 20 orang mahasiswa Indonesia yang kuliah di negeri Belanda pada 15 November 1908. Keberadaan himpunan ini pengaruhnnya sangat kuat di kalangan mahasiswa Indonesia yang kuliah di berbagai negara termasuk Mesir. Sehingga mahasiswa Indonesia banyak melakukan pergerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hal ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga mereka mengirim beberapa petugas spionase untuk memata-matai pergerakan mahasiswa Indonesia di Kairo. Salah satu mahasiswa di Kairo yang aktif melakukan pergerakan politik untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia adalah Sjadzli Hasan, diketahui bahwa Ia selalu menjadi obyek pengawasan mata-mata Belanda di Kairo.

Dalam karir politiknya, Sjadzli Hasan pernah menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), suatu lembaga yang dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945. Kemudian ia aktif di Partai Masyumi pada tahun 1950, menjadi wakil ketua Badan Eksekutif Karesidenan Banten, anggota Dewan Pemerintah Daerah Sementara (DPDS) Jawa Barat, anggota Dewan Keamanan Pertahanan Daerah Banten, dan menjadi anggota Konstituante setelah pemilu pertama pada masa Orde Lama. Ketika masa revolusi kemerdekaan, Ia memilih aktif sebagai tentara pelajar yang turut berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia (1945 - 1959).

Dan juga dalam dunia akademisi Di  kiprah Sjadzli Hasan sudah tidak diragukan lagi. Setelah kembali dari Kairo Ia bersama teman-temanya antara lain Prof. A. Kahar Muzakkir, mendirikan Sekolah Tinggi Islam Yogyakarta (sekarang menjadi UII) dan ia mengajar di sana dengan pangkat rektor. Sjadzli Hasan juga dikenal sebagai Founding Father lahirnya Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Serang yang pada tahun 2004 berubah nama menjadi Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. Bahkan tidak hanya itu nama Prof. KH. Sjadzli Hasan diabadikan menjadi salah satu gedung di kampus Universitas Islam Negeri Sultan Maulana Hasanuddin Banten. 

Sumber :

Bantenologi, Biografi Ulama Banten Seri Ke-1, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Banten, 2014.

Oleh : Febby Prayoga (Founder Sahabat Pena Inspiratif) 

Posting Komentar

0 Komentar