Seputar Pena Inspiratif

6/recent/ticker-posts

Mengenal Sosok Tokoh Pembaharu Pendidikan Islam Modern : KH. Wahid Hasyim

KH. Wahid Hasyim 1914-1953

"Akal seorang laki-laki, di bawah tangkai penanya" (KH. Wahid Hasyim) 

Seorang Nasionalis-Tradisionalis

KH. Wahid Hasyim adalah putra kelima dari pasangan KH. M. Hasyim Asy'ari dengan Nyai Nafiqah binti Kiai Iyas. Wahid Hasyim adalah seorang dari sepuluh keturunan langsung KH. M. Hasyim Asy'ari. Silsilah dari jalur ayah ini bersambung hingga Joko Tingkir, tokoh yang kemudian lebih dikenal dengan Sultan Sutrawijaya yang berasal dari Kerajaan Islam Demak. Sedangkan, dari pihak ibu, silsilah bersambung hingga Ki Ageng Taru. Bila dirunut lebih jauh, kedua silsilah itu bertemu pada satu titik, yaitu Sultan Brawijaya V, yang menjadi salah satu raja Kerajaan Mataram. Sultan Brawijaya V ini juga dikenal dengan sebutan "Lembu Peteng".

Wahid Hasyim adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara. Wahid Hasyim lahir pada Jum'at Legi menurun penanggalan Jawa, atau 5 Rabi'Al-Awwal 1333 H menurut penanggalan Islam, dan menurut penanggalan sekuler bertepatan dengan 1 Juni 1914 M. Ketika beliau lahir, di rumahnya serang ramai diadakan pengajian. 

Kelahiran Wahid Hasyim memang bisa dikatakan istimewa. Ini tidak lain karena pada saat itu rumahnya sedang diadakan acara pengajian. Walaupun atau justru karena kebetulan itu, menjadi semacam pengiring doa atas kelahirannya yang dilakukan secara berjamaah, menjadi tanda bahwa kelak Wahid Hasyim menjadi tokoh pejuang Islam dan pejuang nasionalis. 

Sejak kecil Wahid Hasyim terkenal pendiam dan peramah. Ia kita pandai mengambil hati orang. Pada usia 5 tahun, ia belajar membaca Al-Quran pada ayahnya selepas sembahyang maghrib dan dzuhur di samping bersekolah pada lagi harinya di Madrasah Salafiah Tebuireng. Pada umur 7 tahun, ia mulai belajar kitab Fathul Qarib, Minhajul Qawim, Mutamminah pada ayahnya. 

Abdul Wahid mempunyai otak sangat cerdas. Pada usia anak-anak, ia sudah pandai membaca Al-Quran, dan malah sudah khatam Al-Quran dan membaca dengan sangat baik ketika masih berusia tujuh tahun. Bisa jadi ini memang bakat dan pembawaan atau anugerah Tuhan apda Wahid Hasyim untuk memiliki otak cerdas (Bakar, 1957:145-146).

Sejak dini, putra-putrinya diperkenalkan dengan pengetahuan agama Islam dan dibebaskan untuk mempelajari ilmu pengetahuan umum. Tidak soal baginya bagaimana mendapatkan buku bahan bacaan bagi putra-putrinya sebab secara ekonomi ia tergolong mampu saat itu. Dalam suasana seperti itulah Wahid Hasyim tumbuh dan berkembang.

Sebagai anak seorang terkemuka, Abdul Wahid Hasyim tidak pernah mengenyam pendidikan di bangku sekolah pemerintah Hindia-Belanda. Dia lebih banyak belajar secara autodidak. Selain belajar di pondok pesantren dan madrasah, dia banyak mempelajari sendiri kitab-kitab dan buku berbahasa Arab. Beliau mendalami syair-syair berbahasa Arab hingga hapal di luar kepala, selak  itu juga menguasai maknanya dengan baik. 

Pembuktian lain tentang poa belajarnya yang hasilnya bagus adalah, meskipun tidak sekolah di lembaga pendidikan bukum milik pemerintah Hindia-Belanda, namun pada usia 15 tahun ia sudah mengenal huruf latin dan menguasai bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Kedua bahasa asing itu dipelajari dengan membaca majalah yang diperoleh dari dalam negeri atau kiriman dari luar negeri. Ibu Nafiqah sangat berperan atas pengetahuan dan keahlian Wahid Hasyim terhadap bahasa asing. Bahkan sang ibu tidak berharap anaknya ini tinggal di dunia pesantren di pedesaan. 

Hasil dari kegemarannya dalam bacaan dan proses berpikirnya yang disiplin serta ketat itu dibuktikan dengan munculnya buah tulisan tangannya yang terdapat dalam salah satu buku peringatan milik adik kandungnya. Tulisan tersebut dibuatnya pada 1929 (pada saat usia 15 tahun). Ini adalah awal dari seorang penulis, seiranga penulis pastilah juga seorang oemvaca yang rajin. Dari sini ia terus belajar apa saja yang bermanfaat bagi k hidupan nya dan umat manusia secara keseluruhan. Di tahun ini pula, ia sudah pandai mengemudikan mobil. 

Wahid hasyim menikah dengan Puteri Kiai Bisri Syamsuri yaitu Solichah yang saat itu masih belum genap berusia enam belah tahun. Dengan semangat hati, Kiai Bisri pun menerima  lamaran itu dan tahun itu pun Wahid Hasyim menikah dengan Solichah. Pasangan ini dikarunia enak putra, yaitu Abdurrahman Wahid Ad-Dakhil atau akrab dipanggil dengan Gus Dur (mantan Ketua PBNU, mantan Presiden RI ke-4), Aisyah (Ketua Umum PP Muslimat NU 1995-2000), Salahudin Al-Ayyubi (Insinyur lulusan ITB, Pengasuh PP. Tebuireng Jombang sesudah Gu Yus), Umar (dokter lulusan UI), Khadijah (Lyli, sekarang masuk pengurus Dewan Syuro PKB pimpinan Muhaimin Iskandar), dan Hasyim Wahid (Gus Im). 

Sepulang dari Mekkah ada akhir 1993, Wahid Hasyim mulai bergerak dan mengamalkan ilmunya kepada khalayak umum. Bidang pertama kali yang digarap dan itu berada di depan matanya adalah merombak cara kuno sistem pendidikan pesantren yang proses belajar dan mengajarnya dari mendengar saja dan menggantungkan makna pada kitab-kitab fiqih. Kegelisahan ini bermula ketika menjadi pandangan umum jika keilmuan santri di masyay kurang begitu berguna dan kurang begitu mumpuni di kota ketika berhadapan dengan pelajar dari kota. 

Ia tidak ingin mihat lagi, para santriebih rendah kedudukannya di masyarakat daripada kaum terpelajar Barat. Dari sinilah Wahid mulau bereksperimen dengan renungannya tersebut. Di antara ratusan santri, dipilihlah emat orang yang ia didik secara khusus dengan menambahkan pengetahuan umum pada mereka, keempat orang itu adalah A. Wahab Turham dari Surabaya, A. Moghni Rais dari Cirebon, Meidari dari Pekalongan, dan Faqih Hasan dari Sepanjang (Surabaya). 

Setelah digembleng dengan penuh kedisiplinan dan kerja keras, beberapa waktu kemudian, dua orang di antara empat pemuda itu sejak permulaan dididik memang sudah tampak bersungguh-sungguh. Sementara, dua orang lain tidak saat memahami maksud Wahid Hasyim dan oleh karena itu lalu terbelakang. Dua orang yang bersungguh-sungguh itu k mudia menjadi tokoh dan kemudian memasuki perjuangan dalam dunia pendidikan baru. Yang satu menjadi anggota pengurus besar NU bagian Ma'arif, dan seorang lagi kemudian aktif dalam sebuah perguruan SMP Muhammadiyah. Mengetahui bahwa eksperimennnya membuahkan hasil yang bagus, Wahid Hasyim kemudian semakin percaya diri dan ingin menyempurnakan metodenya dan menambah jumlah peserta didiknya yang digembleng dengan metode tersebut. 

Pada 1935 Wahid Hasyim menciptakan sebuah madrasah modern yang dinamakan Madrasah Nizamiah. Di dalam Madrasah tersebut, selain diajarkan elajaran agama, juga diajarkan beberapa ilmu pengetahuan umum, seperti pelajaran bahasa Inggris atau bahasa Belanda. Pengajaran kedua bahasa itu pada masa itu menyebabkan golongan tua dari kalangan tradisional yang sangat menyucikan bahasa Arab, sangat terkejut dan mendirikan bulu roma. Apalagi, kedua bahasa itu selain merupakan bahasa asing, juga merupakan salah satu bahasa penjajwh yang menjajah bangsa kita. Akan tetapi, Wahis Hawyim tetap berpegang teguh dan mendasarkan pendapatnya pada hadis yang mengatakan, "Barangsiapa mengetahui bahasa suatu golongan, maka ia akan aman dari peekosaan golongan itu. " Dan pepatau ada yang mengatakan "Bahasa adalah kunci dari ilmu pengetahuan. " Kedua pepatah ini dijadikan wrgumen oleh Wahid Hasyim untuk menangkis kritik dan seangan atas pola pendidikannya, dengan mengatakan bahwa yang dilakukannya itu juga termasuk salah satu perjuangan melawan penjajah. 

Namun begitu, Wahid Hasyim belum puas. Murid-murid di luar sekolah harus belajar berorganisasi dan belajar menambah pengetahuan dan meluaskan pengalaman sendiri dengan membaca. Wahid Hasyim mewujudkan semua itu pada 1936 dengan mendirikan IKPI (Ikatan Pelajar-Pelajar Islam). Daam organisasi ini, ia menjadi pimpinannya. Dalam organisasi ini pula, disediakan taman bacaan yang menyediakan kurang lebih 500 buah kitab bacaan untuk anak-anak dan pemuda, yang berbahasa Indonesia, Arab, Jawa, Madura, Sunda, Belanda, dan Inggris. 

Wahid Hasyim mendirikan organisasi kepemudaan Islam. Dengan mengajak M. Natsir dan Anwar Cokroaminoto, mereka menggerakkan pemuda Islam yang militan, berani berjihad untuk agama, bangsa, dan tanah airnya. Gerakan ini diberi nama GPII (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) pada a2 Oktober 1945. GPII adalah organisasi gerakan kepemudaan Islam yang bergerak dalam lapangan politik dan memiliki kecenderungan Radikal. 

Kemunduran NU dan Wahid Hasyim oleh banyak pihak disayangkan, terutama oleh kalangan Islam modernis. Bahkan, pada permulaan 2008 banyak kalangan yang mencoba mengungkit persoalan tersebut, yang kemudian mendapat tanggapan keras oleh Umaruddin Masdar Selaky Oenasihat KMNU (Kaum Muda Nahdlatul Ulama). Perdebatan terjadi di surat kabar Republika. 
Perdebatan dimulai dari tulisan Mahmudi Asy'ari berjudul "Khittah NU dan Godaan Politik" (Republika, 23 Januari 2008). Secara garis besar, tulisan itu mengangkat kuatnya arus politisasi Nahdlatul Ulama (NU). 

Beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama. Ia pernah mengeluarkan tiga buah keputusan yang pada tahun-tahun selanjutnya memengaruhi sistem pendidikan di Indonesia. 
1. Atas usul Wahid Hasyim sebagai Menteri Agama, Kabinet mengeluarkan Peraturan Pemerintah tanggal 20 Januari 1951 yng mewajibkan pendidikan dan pengajaran agama dalam lingkungan sekolah-sekolah umum, baik negeri maupun swasta. 
2. Ia mendirikan sekolah Guru hakim agama di Malang, Bandara Aceh, Bandung, Bukit Tinggi, dan Yogyakarta. 
3. Ia mendirikan pwndisikan guru agama negeri di Tanjung Pinang Bandung, Pamekasan, dan Salatiga

Selain itu, selama menjadi Mwneteri Agama, ia juga berkiprah anatara lain :
1. Mendirikan Jam'iyah Al-Qurra' Wa al-huffah (organisasi penghafal Al-Quran) di Jakarta
2. Menerapkan tugas kewajiban Kementerian Agama melalui Peraturan Pemerintah No. 8  tahun 1950.
3. Merumuskan dasar-dasar Peraturan Perjalanan Haji Indonesia. 
4. Menyetujui berdirinya Perguruan Tinggi  Agama Islam Negeri (PTAIN) dalam Kementerian Agama. 

Pada sabtu, 18 April 1953, Wahid Hasyim bermaksud pergi ke Sumedang menghadiri rapat NU. Ia menempuunu adengan kendaraan Chevrolet, mobil miliknya sendiri. Selain ditemani seorang supir harian pemandangan, beliau juga ditemani Argo Sucipto, Sekjen PBNU dan Tata Usaha Majalah Gema Muslimin, serta putra sulungnya, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pada waktu itu lalu lintas ramai dan jalanan diguyur hujan. Sekitar pukul satu siang, kendaraan mereka memasuki wilayah Cimindi. Mobii yang ditumpani beliau selip dan sopirnya tidak bisa menguasai kendaraan. Sementara utu, di belakang mobil ini banyak iring-iringan mobil. Sedangkan, dari arah depan sebuah truk melakukan kencang terpaksa berhenti begitu melihat ada mobil berjalan zig-zag karena selip dari arah berlawan. Karena mibil beliau melakukan cukup kencang, maka bagian belakang mobil membentur badan truk dengan keras. 

Ketika terjadi bentursn keras tersebut, Wahid Hasyim dan Argo Sucipto terlempat ke luar dari mobil sampai ke bawah truk yang sudah berhenti tersebut m keduanya terluka parah. Wahid Hasyim luka bagian kening, mata, pipi, dan bagian lehernya. Sementara itu sopirnya dan anak sulungnya, Gus Dur tidak mengalami luka sedikit pun. Mobinya hanya rusak bagian belakang dan masih bisa berjalan seperti semula. 

Sejak mengalami kecelakaan, kondisi kedua korban, Wahid Hasyim dan Argo Sucipto dalam keadaan tak sadarkan diri. Pada pukul 10.30 hari Minggu, 19 April 1953, Wahid Hasyim akhirnya meninggal dunia dalam usia 39 tahun, ada beberapa sumber menyebutkan 38 tahun. Beberapa jam kemudian, tepatnya pukul 18.00 Argo Sucipto menyusul menghadap Yang Maha Kuasa. 


Sumber :
Mohammad Rifai, KH. Wahid Hasyim Biografi Singkat 1914-1953, (Yogyakarta : Garasi, 2020) 

Penulis : Febby Prayoga

Posting Komentar

0 Komentar